SHARE

Didik Nini Thowok (Hani White)

CARAPANDANG.COM – Didik Nini Thowok, sosok ini telah puluhan tahun melanglang buana berkarya di seni tari. Belajar tari sejak umur 12 tahun, sosok bernama asli Didik Hadiprayitno ini begitu totalitas dalam seni pertunjukan hingga kini di umurnya yang telah menginjak 63 tahun.

Didik merupakan seorang penjelajah. Kota, desa di Indonesia telah dijelajahinya. Sementara di mancanegara, sosok kelahiran 13 November 1954 ini telah berkunjung ke 38 negara. Petualangan itulah yang membawanya pada kekayaan cara pandang. Cara pandang dalam melihat apresiasi terhadap seni tari, Indonesia yang merupakan kuali multikultural.



Di usianya yang lebih dari 6 dekade ini, Didik telah menjalin kolaborasi dengan banyak orang dan ragam seniman. Salah satunya adalah penyair WS Rendra “Si Burung Merak”. Didik juga telah “kenyang” dengan berbagai kebijakan terkait budaya yang bak tambal sulam. “Kalau terus diubah, terus idenya sendiri yang muncul, mulai dari 0 lagi. Kayak setrikaan aja, maju, mundur, maju, mundur. Itu yang saya amati begitu selama ini,” katanya.

Kamis, 22 Februari 2018, Didik Nini Thowok berkesempatan menjamu redaksi Cara Pandang di kantornya yang terletak di Perumahan Jatimulyo Baru Blok G.13-14, Yogyakarta. Tak sekadar wawancara, kami pun berkesempatan melihat “harta karun budaya”, mulai dari busana tari dwimuka yang dibuat tahun 1987 di rumah WS Rendra, ragam foto dari kunjungan ke pelosok Indonesia dan mancanegara, hingga koleksi wayang yang dimilikinya.



Sudah ke 38 negara Anda kunjungi, bagaimana melihat apresiasi luar negeri terhadap seni tari?

Sejauh yang saya alami, itu biasanya kalau menyuguhkan yang Indonesia itu, mereka sangat-sangat appreciated orang-orang di luar itu. Karena beda banget ya. Dan Indonesia justru dikagumi, dihargai keberagaman dan keunikannya. Kan tidak ditemukan di negara lain, yang beragam kayak Indonesia. Nah itu yang kadang-kadang orang Indonesia tidak menyadari. Mungkin orang yang sudah sering keliling atau keluar negeri baru bisa melihat gimana Indonesia itu. Tapi kalau kita yang di dalam, nggak pernah keluar memang nggak bisa merasakan. Sebenarnya bisa juga kalau kita mau belajar tentang perbedaan, tentang seni pertunjukan yang ada di Indonesia.

Bagaimana Anda melihat Indonesia yang begitu multikultural, serta mendapatkan pengaruh dari timur dan barat?

Masyarakat Indonesia sangat welcome. Sehingga bisa memadukan, mengkolaborasikan dan terjadilah banyak akulturasi dari mana pun bisa menerima. Dan itu yang saya lihat. Kalau kita lihat kesenian di Tiongkok tidak ada yang terpengaruh Indonesia atau Jawa. Kalau kesenian di sini ada yang terpengaruh Tiongkok, banyak sekali. Itu yang saya lihat. Kalau saya lihat di luar negeri, orang asing belajar budaya Indonesia banyak sekali, dan mereka belajar yang klasik-klasik.



Kostum dwimuka tahun 1987 yang dibuat di rumah WS Rendra. Rendra sering mengkritik pemerintah. Mungkin ada kaitannya dan bagaimanakah filosofi tarian dwimuka?

Saya bukan pengkritik seperti mas Willy ya. Kalau bicara filosofi ya tentang manusia. Manusia punya dualisme dalam dirinya. Ada sisi baik dan sisi jahat. Pasti. Tinggal mana yang dominan. Ada maskulin dan feminine. Banyak yang bisa disampaikan dengan dwimuka.

Bagaimana dengan edukasi, biar anak muda senang seni. Mungkin kayak Kemdikbud, pelajarannya ke seniman-seniman senior?

‘Belajar Bersama Maestro’ ya. Itu salah satu langkah yang bagus. Kalau bisa menjadi program rutin. Kesini juga. Harus jadi program yang rutin, jangan hanya proyek aja. Kebanyakan di tempat kita kan base-nya berbasiskan proyek. Wis selesai. Padahal hal yang penting harusnya dilanjutkan. Kalau kita lihat kebijakan pejabat, kalau diganti pejabat lainnya belum tentu pejabat lainnya mau meneruskan. Saya lihat nggak pas.

Seandainya yang bermanfaat dilanjutkan, di-developed, dikembangkan, supaya dicari kekurangannya. Kalau terus diubah, terus idenya sendiri yang muncul, mulai dari 0 lagi. Kayak setrikaan aja maju, mundur, maju, mundur. Itu yang saya amati begitu selama ini. Saya kan sudah puluhan tahun, usiaku sudah 63 tahun. Saya sudah melihat program-program yang berganti. Pejabatnya baru, ganti lagi. Kenapa sih gengsi kalau meneruskan. Kenapa sih harus gengsi. Meneruskan 1 program yang bagus kan mereka merasa aku nggak kreatif, begitu kali ya pikirannya. Kita berpikirnya untuk Indonesia bukan untuk diri sendiri aja, kan begitu.



Kalau dari yang ‘Belajar Bersama Maestro’, bagaimana mas Didik melihat antusiasnya atau ada evaluasi?

Kalau dari anak-anak yang dikirim kan mereka memang belajar kesenian. Justru yang lebih penting kan umum, menurut saya. Kalau itu kan okelah kan mereka tertarik seni, otomatis akan serius. Tapi kalau yang umum yang tidak senang akan kesenian, bagaimana mereka bisa tertarik itu sebenarnya yang harus dilakukan. Karena masyarakat Indonesia kan tidak semuanya senang seni.