SHARE

Istimewa

CARAPANDANG.COM - Wacana jabatan presiden tiga periode merupakan  "propaganda putih sekaligus operasi kuasa wacana" untuk penundukan dan penertiban publik.

Demikian disampaikan Akademisi dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Nusa Tenggara Timur, Mikhael Rajamuda Bataona di Kupang, Kamis (24/6). 

"Presiden Jokowi sendiri kan sudah menolaknya. Bahwa itu agenda cari muka, tampar mukanya dan menjerumuskan dirinya, sehingga saya lebih membacanya sebagai wacana kekuasaan yang dioperasikan untuk penundukan terhadap publik, karena para elit ini paham bahwa Jokowi itu simbol yang sudah dikultuskan rakyat sehingga mudah digunakan untuk agenda penertiban persepsi dan penundakan atau penguasaan ini," jelasnya. 

Dia menilai anggapan yang menyebut Jokowi adalah pemimpin yang sukses dan baik, sehingga layak memimpin satu periode lagi adalah sebuah pernyataan bersayap. Di satu sisi, wacana ini adalah ungkapan jujur, natural, dan apa adanya dari rakyat terutama mereka yang hidup di kampung-kampung yang memang punya pengalaman empirik tentang kebaikan hati Jokowi.

Tetapi di sisi yang lain, ketika bahasa rakyat itu ditunggangi, dibelokan bahkan sudah diagendakan oleh rezim kekuasaan atau aktor politik, aktivis dan sejenisnya, maka itu sudah jelas-jelas operasi kekuasaan.

"Jokowi itu pada dirinya sendiri adalah simbol. Misalnya simbol sebagai pemimpin yang baik, dan merakyat dan lainnya. Ketika simbol ini dioperasikan lewat wacana untuk kepentingan kekuasaan tiga periode maka simbol Jokowi merakyat, dan sebagainya itu sudah dibajak untuk agenda perebutan kekuasaan dan melanggengkan kepentingan rezim bisnis-politik yang nantinya mendapat manfaat dari Jokowi tiga periode ini," jelasnya. 

Lebih lanjut pengajar Komunikasi Politik dan Teori-teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Katolik Widya Mandira Kupang menilai ide dari M Qodari dan kawan-kawan ini sudah terang benderang penuh dengan intensi, agenda dan motif politik-kekuasaan.

Menurutnya, sebagai sebuah gagasan, itu wajar-wajar saja dan sah-sah saja dalam alam demokrasi. Namun, sebagai sebuah bahasa dan proposisi yang sudah diwacanakan secara teknis, taktis dan bertujuan politik-kekuasaan maka kemurnian dan kepantasannya perlu diuji secara nalar melalui dikursus yang fair dan terbuka.

"Jangan sampai rakyat hanya dijadikan kuda beban, didikte, diposisikan secara marginal dalam dikursus ini kemudian dipaksa, disetting dan disetel untuk setuju," katanya.

Dia mengatakan di alam demokrasi semuanya bebas mengemukakan ide, tapi ide yang seolah-olah dari rakyat untuk kemudian dibelokan untuk mengkhianati demorkasi dan rakyat itu sendiri adalah berbahaya, karena demokrasi kita adalah demokrasi konstitusional bukan demokrasi liberal.  Maka itu,  jangan sampai demorkasi kita menjadi liberal saat ide ini dipaksakan lalu menjadi otoritarian hanya karena jabatan presiden menjadi sangat lama. 

Tags
SHARE