SHARE

istimewa

Totobuang terdiri dari beberapa gong kecil dalam beberapa ukuran dengan nada berbeda-beda. Ia bisa terdiri dari sembilan, 12, 14, atau 18 gong kecil yang disusun dalam dua kolom dan letakkan di atas rangka kayu. Menurut Christian Izaac Tamaela dalam disertasinya berjudul “Contextualization of Music in the Moluccan Church” di Vrije Universiteit Amsterdam tahun 2015, desa-desa Kristen di Maluku biasa menggunakan 12 atau 14 gong sedangkan desa-desa Muslim biasanya memiliki lima, enam, atau sembilan gong. Instrumen ini digunakan untuk hiburan atau untuk menyambut tamu. Beberapa jemaat Kristen di Maluku menggunakan totobuang dalam ibadah mereka.

Dalam perkembangannya, totobuang bukan hanya dibuat dari tembaga tapi juga kayu atau logam lain. Tak heran jika ada totobuang kaleng yang terbuat dari kaleng ikan sarden atau totobuang lampu yang terbuat dari tabung lampu gas. Hal ini dilakukan untuk menyiasati kesulitan mendapatkan totobuang yang biasa didatangkan dari Jawa.

Totobuang dimainkan dengan cara dipukul dua tongkat kayu. Dalam memainkan alat musik ini, tidak semua nada dibunyikan dengan dinamika yang sama. Ada yang pelan ada yang kuat. Totobuang sering digunakan dalam berbagai ritual agama dan tradisional maupun hiburan bagi masyarakat Ambon. Misalnya, untuk mengiringi pengantin.

Walaupun tifa dan totobuang adalah dua alat musik yang berbeda, namun bila keduanya digabungkan akan menghasilkan sebuah perpaduan manis dan indah untuk didengar. Dalam tradisi masyarakat Maluku, tifa memang biasa dimainkan dengan totobuang. Itu sebabnya kolaborasi ini dinamakan tifa totobuang. Masyarakat awam pun berpikir bahwa tifa totobuang adalah satuan alat musik yang tidak terpisahkan.

Tifa totobuang biasanya dipakai pada acara-acara adat, hiburan, maupun menyambut tamu. Setelah kerusuhan Ambon pecah awal tahun 2000 masyarakat Maluku menyandingkan tifa totobuang dengan kesenian lain yang kental nuansa Islam dan Melayu, yakni tari sawat. Tarian Maluku ini merupakan sebuah warisan budaya para pedagang Arab yang pernah berdagang di Jazirah Al-Mulk atau Maluku.

“Tifa totobuang ditabuh keras-keras, berkelindan dengan rampak rebana sawat dan hadrat yang menyentak,” ujar Jacky Manuputty, pendeta Gereja Protestan Maluku, dalam Carita Orang Basudara: Kisah-kisah Perdamaian dari Maluku yang juga ikut disuntingnya.

Perpaduan dua kesenian itu menjadi perekat kerukunan warga Maluku sekaligus simbol perdamaian dan harmonisasi masyarakat Maluku yang majemuk. Seni memang bahasa universal, dengan berbagai pesan positif yang disampaikan di dalamnya. dilansir indonesiamaju.com

Halaman :
Tags
SHARE